Jumat, 04 September 2009

DIA BODOH

Dia memandangi pilu kamarnya, meratapi apa yang telah diperbuatnya. Sudah kukatakan padanya, bahwa dia BODOH. Namun beribu kata meluncur lebih cepat daripada teori kecepatan cahaya. Sejak awal dia dilecehkan, hingga akhirnya dia disetubuhi dengan konyolnya, dia tak berubah, tetap saja BODOH.
Aku mengenalnya sedari dulu. Terkadang dia bercerita padaku, tentang emosi jiwanya yang meluap – luap, tentang kebenciannya saat dia diperlakukan bak pelacur, dan tentang segala kenaifannya akan dunia. Dan dia tetap saja bodoh.
Aku memakinya, aku mencacinya, aku mengutuknya, aku mencemoohnya, aku membencinya, aku menyayanginya, aku…….kasihan padanya. Pada dia yang selalu dilecehkan, pada dia yang selalu dianiaya, pada dia yang selalu merasa terpaksa tanpa dapat menolak, pada dia yang selalu berbuat konyol, terutama pada dia yang selalu BODOH. Dia BODOH.
Terkadang aku heran menatapnya tak henti, ketika dia mengutarakan segala pendapatnya yang konvensional, ketika dia membandingkan semua kasus yang diberikan gurunya dengan logikanya yang amat logis, ketika dia membagi – bagikan uangnya dengan cuma – cuma, ketika dia mengungkapkan cita-citanya padaku dengan mata bersinar – sinar dan berkaca – kaca ( karena ketakutannya akan tak tercapainya cita – cita itu ), ketika dia mengumandangkan kata – kata penuh harapan pada orang yang sedang berputus asa ( padahal dia juga melebihi putus asa ), ketika dia menjadi tumbal keberhasilan orang yang dikatakan dan dibelanya sebagai teman ( walaupun selalu membuatnya merasa terpaksa untuk merelakan selangkangannya ), ketika dia mendesah penuh kebencian dia atas tubuh laki – laki yang untuk kesekian kalinya dia sebut teman ( walaupun membuat hatinya tak karuan selamanya ), ketika ia memandang jijik dirinya di depan setiap cermin yang disapanya, ketika dia merasa malu untuk mengungkapkan bahwa terkadang ia menikmati kepelacurannya itu, ketika ia ketakutan akan seseorang yang akan menjadi pendampingnya kelak, ketika ia ketakutan dan gelisah akan kasih sayang yang tak didapatkannya, ketika ia sibuk mencari pengganti kasih sayang yang tak didapatkannya, ketika dia gelisah dan kecewa oleh hal yang terlalu diharapkannya.
Suatu hari, dia kembali menumpahkan air matanya di tubuhku. Menangis pilu. Berkeluh kesah. Saat ia berjalan membalikkan badan dari balik pintu peraduan kebenciannya. Wajahnya lusuh, penuh dengan gundah. Mencari – cari pilar di tengah lapangan sepak bola. Pening melihat langsung arah matahari, saat aku menghilang.
Ketika tiba kembali, kulihat ia meminum berbagai racun, yang sebisa mungkin tak membunuhnya. Ia berlari sekuat tenaga, mengeluarkan seluruh cairan tubuhnya hingga ia lemas terkulai. Melemparkan dirinya di atas bara, hingga membuat gumpalan di tubuhnya.
Kembali ia melolong di atas tubuh lelaki yang menyatakan cinta padanya. Cinta pada hasratnya, cinta pada tubuhnya, cinta pada dia yang sedang bercinta dan mendesah pilu. Kali ini jalannya hanya tinggal sepotong kayu. Ia menjadi pelacur sebenar – benarnya. Hingga cukup pula.
Matanya menuju suatu arah yang membuatnya linglung. Dalam suatu rumah, dilihatnya manusia – manusia tak beradab berucap lembut padanya dan mencurigainya. Ketika mereka tahu bahwa ia juga tak beradab, disambutlah dalam dunia putih yang hitam. Sejenak terpikir rasa geli dan jijik dari dirinya melihat manusia – manusia itu, namun tanpa disadarinya, ia lebih tak beradab dibandingkan manusia – manusia tak beradab itu. Sesosok dewa telah menantinya dalam cahaya, dewa kematian, yang menyusupkan tangannya dibalik kemaluannya. Mengambil gumpalan yang dihasilkan dari desahan – desahan pilunya. Dan ia memberikan uang hasil dari desahan – desahan pilunya.
Dewa itu tersenyum lebar, seolah telah melakukan hal yang memukau. Menghilangkan gumpalan dari tubuh wanita jalang di hadapannya.
Ia bodoh………………. Menciumi bibir, kuping, leher, dada, dan penis laki – laki hanya untuk mengikhlaskannya kepada seorang pembunuh.
Ia bodoh…. Sungguh bodoh…… Hingga saat ia sadari, matahari tak lagi bersinar. Ia tenggelam dalam kebodohannya. Ia pembunuh, pelacur, penuding, pemeras, dan terlebih lagi…. Bodoh. Dan aku ikut bodoh karenanya. Karena aku adalah bayangan dari orang bodoh.
Kemudian ia berkata padaku, “apakah aku hina? Apakah aku sundal? Apakah aku tak pantas hidup? Apakah aku begitu buruk rupanya hingga hidupku seperti ini?”
Aku diam… lama… menanti pertanyaan kelanjutan dari apa yang dikataannya. Ingin ku berkata dengan jelasnya, namun aku tak tega.
Aku dan dia saling terdiam dalam ruangan kosong yang hanya diikuti oleh pantulan cahaya remang-remang yang memberontak masuk. Setelah apa yang dialaminya, setelah apa yang dipikirkannya, Setelah semua cacian kutuangkan menjadi sebuah prosa. Aku tetap tak bias bicara padanya. Ia pun berteriak padaku, “MENGAPA AKU TAK PERNAH BAHAGIA????”
Aku tersenyum sinis, dalam ketenggelamannya, dalam kepiluannya…
Dan kukatakan padanya, perlahan dan tegas…
“Kau hanya tak pernah bersyukur”
Ia tercengang, membisu
“Kau cantik dan jatuh dalam kecantikanmu”
Matanya membelalak
“Kau bodoh”
Tubuhnya melemas… terguncang akan kata-kataku. Kata-kata yang menusuknya dari dalam, dari bayangannya…
Ia pun menyadari sebagaimana aku yang terus menyaksikan kebodohannya. Ia hanya bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar